0

Untuk Sapardi Djoko Damono


Selamat Pagi, Bapak SDD

Emmm.. sopankah saya yang berkirim surat pada Bapak dengan 'cara' seperti ini? Saya harap begitu.
Bapak sedang apa? masihkah memegang pena? masihkah menggandrungi hujan? masihkah suka melakukan repetisi pada kata hujan dalam sajak-sajak Bapak?

Jujur saja, semalam sebelum tidur, saya belum berpikiran Bapak lah yang akan saya kirimi surat di hari ke-2 #30HariMenulisSuratCinta ini. Hingga 1 jam lalu, setelah saya mengantarkan teman sehabis menginap di kosan. Saya kembali keatas kasur, meraih buku Sepilihan Sajak 'Hujan Bulan Juni' dan langsung memanjakan ruang hayal pada kumpulan Sajak Bapak tahun 1989. Sesungguhnya, saya sangat menggemari beberapa sajak Bapak di tahun tersebut. Sebut saja: Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Sajak-sajak Empat Seuntai, dan Dalam Doaku. (mungkin) kebetulan, saya dilahirkan di tahun Bapak menulis sajak-sajak memabukkan itu.

(lalu, saat saya sedang mengetik surat ini, hujan turun. Sepertinya ia ingin menemani saya berkirim surat untuk seseorang yang lama menjadi penggemarnya, Bapak)

Baik, akan saya lanjutkan apa yang ingin saya sampaikan pada Bapak.
Bapak tentu lebih paham dari saya, membaca sajak yang sama berulang kali tidaklah mengurangi keindahannya. Justru, imajinasi kita didorong semakin liar menafsirkan. Saya merasa begitu. Apalagi setiap membaca ulang "Sajak-sajak Empat Seuntai". Hmmmm... Dahsyat!

 .....
apa lagi yang bisa ditahan? beberapa kata
bersikeras menerobos batas kenyataan
setelah mencapai seberang, masihkah bermakna,
bagimu, segala yang ingin kusampaikan?

dalam setiap kata yang kaubaca selalu ada
huruf yang hilang
kelak kau pasti akan kembali menemukannya
di sela-sela kenangan penuh ilalang
 

Saya harap Bapak tidak bertanya kapan saya mulai 'mengenal' Bapak dan Sajak-sajak Bapak. Itu pertanyaan sulit, karena saya belum menemukan jawabannya, sampai sekarang. Maaf.
Tapi, pentingkah tahu kapan dan bagaimana saya mengenal Bapak? ~ Jika apa yang pikiran saya yakini benar, maka Bapak akan menggeleng dan berkata, "Tidak! Itu tidak penting"

Menjadi seperti 'Hujan Bulan Juni' sungguh tidak mudah, Bapak. Saya pun ingin tabah sepertinya. Saya pun ingin bijak sepertinya. Saya pun ingin arif sepertinya. Perihal merahasiakan rindu. Perihal menghapus jejak yang ragu-ragu. Perihal mengabaikan 'hal-hal' yang tidak terucapkan.
Tapi, tidak mudah, sungguh!
Saya adalah perempuan yang susah merahasiakan rindu. Saat rindu, saya semakin gila menikahkan kata-kata yang bahkan saya sendiri seringkali tidak mengerti apa maksudnya.
Apakah menurut Bapak saya gila? Emm.. saya yakin Bapak akan menggeleng untuk kedua kalinya.

(dan, kini hujan semakin deras)

'Aku Ingin' juga adalah hal yang ingin saya lakukan. Mencintai seseorang dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Mencintai seseorang dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Bapak SDD, kenapa Bapak begitu suka memasukkan kalimat 'tak sempat diucapkan/ tak terucapkan/tak sempat disampaikan'  pada sajak-sajak Bapak? Saya sedih. Kenapa harus 'tak sempat diucapkan' ? kenapa harus 'tak terucapkan' ? kenapa harus 'tak sempat disampaikan'? hmm? :(
Bukankah segala hal 'baik' itu baik jika tersampaikan? Dan akan susah tersampaikan jika tidak terucapkan kan?
Hmmm, Maaf Bapak, saya jadi terbawa perasaan. Hujan menyempurnakan 'mood rindu' saya yang seolah berontak dan sudah sampai ubun-ubun dan ingin terbang entah kemana.

Dan, sepertinya surat ini harus saya akhiri sampai disini. Sebelum kalimat saya semakin 'vulgar' dan Bapak berhasil menyimpulkan apa yang sedang saya pikirkan dan rasakan.

Demikian surat dari saya. 'Pada Suatu Hari Nanti' saya harap bisa bertemu Bapak. Berdiskusi mengenai hujan, atau sekedar menanyakan hal-hal 'yang belum terucapkan' dalam surat saya ini.

Salam Hujan Bulan Februari.
Yogyakarta, 02 Februari 2014.



0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan berkomentar....
Mari saling menginspirasi =)

Back to Top