***
Sepertinya aku kesiangan.
Berkali-kali sudah aku membungkukkan badan juga melambaikan tangan dengan
senyum lebar tanda sapaan pada rekan kerja yang sudah memulai aktivitas hari
ini. Tak biasanya aku begini. Benar saja, dampak dari campur aduk perasaan
penasaran juga tegang memicu jantungku liar berdebar hingga membuat kedua
mataku susah terpejam semalam.
“Lho,
Dis. Katanya ijin ke pameran di The Bay?”
“Nanti
jam10an aja kak, ada barang yang mau diambil dulu di kantor.”
“Kameramu
sudah bener belum? Bawa kamera kantor aja kalau belum bener. Itu di mejanya
Seto kalau mau dibawa..”
“Asiiikkkk!
Terimakasiiiihhh kak Mey cantiiikkkkkkk…” Aku memeluk manja tubuh kak Mey yang
sedang hamil besar. Kak Mey memang salah satu rekan yang paling menyambut
hangat kedatanganku sejak 4 bulan lalu. Demi menyelesaikan tesis, aku magang di kantor
BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) di Denpasar Bali. Aku tertarik
meneliti mengenai local wisdom masyarakat asli Bali dengan konservasi sumber
daya alamnya.
Info mengenai pameran lukisan ini
pun aku dapatkan dari Kak Mey. Aku dikirimkan sebagai delegasi kantor untuk
menulis beberapa artikel mengenai acara yang diadakan di The Bay tersebut. Dan,
tentu bukan karena semata-mata karena menghadiri pameran ini aku tidak bisa
tidur dan was-was sejak beberapa hari lalu.
***
“DISTAAA??”
Aku
menoleh kearah kanan. Oh Tuhan! Itu Aryasatya. Laki-laki berwajah malaikat yang
pernah kumiliki. Ia tidak lupa. Ia berhasil mengenaliku dengan penampilan
seperti ini.
“Hei….
Apa kabar kamu?” kedua tangan kami kembali bertemu. Di tengah keramaian acara
pameran, senyum kami seolah mengheningkannya meski sesaat.
“Apa
ini? Rambut pendek sebahu? Pipi merah pakai blush-on? Rok pendek? HAHAHA!”
“ARYAAAAAA!”
aku protes tidak terima. Bagaimana mungkin pria ini mencubit-cubit gemas pipiku
di keramaian seperti ini. Heis!
“Cuma
sepatunya yang belum berubah. Masih flat shoes seperti dulu.”
“Eitss,
jangan salah. Ini aku pakek flat shoes gara-gara habis terkilir beberapa minggu
lalu. Belum berani pakek heels lagi. Arya berapa hari di bali?”
“Besok
siang sudah balik. Aku kesini kan cuma karena undangan pameran ini. Oh ya, Sudah
lihat lukisanku, dis?”
Aku
menggeleng. Tidak bisa kusembunyikan, aku sedikit kecewa mendengar jawaban Arya
yang hanya berkunjung sebentar di Bali.
“Hei….
Kok cemberut begitu? Ayo aku tunjukkan sesuatu.”
Arya
meraih tanganku. Kami kembali bergandengan setelah sekian lama terpisah jarak
juga status yang tak lagi sama. Cahaya lampu keemasan de Opera menghangatkan
kembali pertemuan kami. Kakiku patuh pada arahan kemana Arya melangkah. Seperti
dulu.
“Nah,
ini lukisanku. Kata panitia ada 500 lebih lukisan yang mendaftar. Kamu patut
bangga Dis, lukisan ini masuk dalam 50 besar terbaik lho..”
Hatiku
seketika meracau. Bukan hanya karena caption yang disematkan pada lukisan ini “Maret
2007, Gadis Bali Kesayanganku”. Tapi, dalam lukisan karya Aryasatya ini adalah memang
aku. Aku yang saat itu benar menjadi kesayangannya, satu-satunya.
“Kamu
masih punya foto asli ini? Belum di delete?”
“HAHAHA.
Lha kenapa harus di delete sih? Aku bukan anak SMP labil yang setelah putus
dengan pacarnya lalu menghapus semua foto-fotonya, Dista. Hih!”
Arya
kembali mencubit pipiku. Kali ini aku tidak berontak. Aku membiarkannya, dan
masih terus memperhatikan tingkahnya. Arya masih seperti malaikat, belum
berubah.
“Coba
lihat, kamu cantik sekali saat itu. Rambutmu masih panjang, tidak pendek
seperti sekarang. Aku akui, sekarang kamu lebih cantik, tapi Dista gadis Baliku
yang dekil tanpa make-up dulu jauh lebih menawan.”
Aku
diam mendengar perkataan Arya. Sudah lama sekali rasanya. Entah bagaimana,
setiap perkataan Arya membuatku seolah terhempas kembali ke masa lalu kami. Nostalgia
dengan kenangan masa silam yang tidak akan pernah bisa mengubah keadaan.
“Kamu
sudah makan siang? Aku traktir Bebek bengil kesukaanmu?”
“Super
Yesssss, Miss Dista!!!”
Kami
beranjak dari tempat pameran. Tidak jauh dari sini, masih dalam satu kompleks
The Bay, aku mengajak Arya nostalgia dengan makanan kesukaannya. Setelah lulus
sarjana, Arya memang kembali ke Ibukota. Persis setelah itu, ia tak lagi ke
Bali. Entah karena kesibukannya di Jakarta, atau mungkin karena enggan bertemu
aku, atau mungkin lagi ia ingin mengobati luka hatinya karenaku.
“Kalau
kemarin aku tidak tanya duluan, kamu pasti nggak ngasih tau aku kan mau ke
Bali?”
“Emmm….
Menurut kamu?”
“Ya,
itu. Begitu. Iya?”
“Hehehe,
entahlah. Yang penting kan kamu sudah tanya. Dan, kita bertemu lagi.”
“Jadi
bener kan.”
“Hei…
hei.. hei.. ngambek?”
Aku
diam dan sok sibuk membolak-balik menu di Restoran Bebek Bengil The Bay. Aku mengenal
Arya dengan baik, 5 tahun menjadi kekasihnya bukanlah waktu singkat. Pasti sekarang
ia sedang memutar otak untuk mengembalikan moodku yang sedang jelek. Aku cekikikan
senang dalam hati. Hihihi..
“Yasudah
kalau ngambek, yang penting aku tetep ditemenin dan ditraktir makan Bebek
bengil cukup deh…”
“Hih!
ARYAA!!!”
“Kamu
pasti ngira aku bakalan maksa-maksa kamu biar nggak ngambek kan? Enak aja, kan
udah bukan pacar aku. Weeekk.. HAHAHAHA!”
Aku
pun ikut tertawa. Benar apa yang Arya katakan. Aku hampir lupa.
“Aku
kaget kemarin waktu baca pesan kamu. Sudah lama sekali sih ya kita nggak
ngobrol. Jadi cukup deg-degan juga tiba-tiba muncul nama kamu di handphone.”
“Iya,
kebetulan aku baca obrolanmu dan Damar di twitter. Sayang sekali ya,
teman-teman asli Bali sudah banyak yang kerja diluar. Sepertinya memang cuma aku
yang masih disini.”
“Lho,
ya nggak masalah donk, Dis. Jadi, kapan-kapan kalau aku liburan kesini masih
ada kamu yang siap menyambut. Seperti sekarang.”
“Yeeeeeiii,
enak saja. Ini yang terakhir yaa. Lain kali tidak lagi. Ogah menyambutmu di
Bali bersama istrimu nanti. Weeekkk.”
“HAHAHAHA.
Ya nggak masalah donk. Nanti aku kenalkan, kan kalian sama-sama mantan pacarku.
Cuma bedanya, dia akhirnya kunikahi, kamu tidak.”
Kami
tertawa lepas. Siapa yang bisa menyangka, dalam beberapa jam kami sudah mampu
kembali menertawakan hal-hal tabu yang sebelumnya tidak pernah kami ungkit. Ya,
bulan depan Arya menikah. Aku tahu itu dari teman-teman kuliah kami dulu. Sejak
kami putus, hanya selang beberapa bulan sebelum kelulusan sekaligus kepulangan
Arya kembali ke Ibukota, tidak ada satupun diantara kami yang memulai
komunikasi. Hingga hari ini, kami bertemu lagi di The Bay.
“Lalu,
kamu bagaimana, Dis? Sudah ada calon?”
“Emmm…
mungkin akhir tahun ini baru tunangan. Tahun depan nyusul kamu deh, menikah.”
“Waahhh,
selamaaattttt. Calonnya orang mana? Bali juga?”
“Ih,
Arya kepo ih…”
“Lho,
harus itu. Aku mau memastikan kamu akhirnya tidak menikah dengan laki-laki yang
dulu lebih kamu pilih sampai meninggalkan aku. No way, bukan sama dia kan???”
“HAHAHAHA.
Of course not, Aryasatya. Dulu kami cuma pacaran beberapa bulan. Dia kembali ke
negaranya, lalu kami putus begitu saja.”
“YES!
Lalu? Kamu menyesal nggak? Keinget aku nggak setelah itu? Cieeeeh cieeeh..”
“Heiss..
Percaya diri sekali kamu. Yee…”
Kami
kembali tertawa lepas. Lucu sekali. Meski obrolan ini mengalir begitu saja,
seolah tidak lebih dari candaan ringan, namun tetap membawa buih kejujuran yang
tersimpan dalam ke permukaan. Kami menceritakan pasangan masing-masing, dengan
sesekali iseng membandingkan dengan perjalanan romansa kami saat masih
berpacaran. Aku menyadari, bisa jadi ini adalah kesempatan terakhir yang
diberikan Tuhan untuk kami. Melepaskan beban hati masing-masing, kemudian siap
dengan jalan cerita yang Tuhan siapkan dengan sebaik-baiknya.
“Sudah
malam, terimakasih untuk menemani di The Bay seharian ini ya, Dis.”
“My
pleasure, Arya. Ini hadiah kecil untuk pernikahanmu bulan depan.”
“Hmm..
thank you.. semoga cepat selesai tesisnya ya..”
“Yup,
Thanks..”
Tangan
kami kembali bertemu. Dengan hati yang ringan dan tenang, kami melepaskan
genggaman tangan itu perlahan. Mengambil arah berlawanan dalam melangkah,
kemudian mengulang kembali ceria hari ini dalam ingatan masing-masing hingga
akhirnya tertidur dan bertemu dengan kisah yang sesungguhnya. Kisah sekarang
yang berarti untuk masa depan, bukan lagi masa lalu.
***
Catatan
hari ini:
Bali,
07 April 2014.
Oh
Tuhan, terimakasih sekali. Luka yang kutorehkan untuk Aryasatya kuharap memang
benar telah kering seperti tercermin dalam pertemuan menyenangkan kami hari
ini. Terimakasih untuk kesempatan ini Tuhan. Terimakasih Tuhan, Terimakasih The
Bay. Untuk setiap luka yang pernah ada dalam hati Aryasatya, semoga sudah
binasa dengan bahagia di sorot matanya. Selamat berbahagia, Aryasatya ^^
favorit nih. Gampang diikuti ... jempol dah
BalasHapusterimakasiiih ^^
Hapus