2

ARYASATYA

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali and Get discovered!

***




Sepertinya aku kesiangan. Berkali-kali sudah aku membungkukkan badan juga melambaikan tangan dengan senyum lebar tanda sapaan pada rekan kerja yang sudah memulai aktivitas hari ini. Tak biasanya aku begini. Benar saja, dampak dari campur aduk perasaan penasaran juga tegang memicu jantungku liar berdebar hingga membuat kedua mataku susah terpejam semalam.
            “Lho, Dis. Katanya ijin ke pameran di The Bay?”
            “Nanti jam10an aja kak, ada barang yang mau diambil dulu di kantor.”
           “Kameramu sudah bener belum? Bawa kamera kantor aja kalau belum bener. Itu di mejanya Seto kalau mau dibawa..”
           “Asiiikkkk! Terimakasiiiihhh kak Mey cantiiikkkkkkk…” Aku memeluk manja tubuh kak Mey yang sedang hamil besar. Kak Mey memang salah satu rekan yang paling menyambut hangat kedatanganku  sejak 4 bulan lalu.  Demi menyelesaikan tesis, aku magang di kantor BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) di Denpasar Bali. Aku tertarik meneliti mengenai local wisdom masyarakat asli Bali dengan konservasi sumber daya alamnya.
Info mengenai pameran lukisan ini pun aku dapatkan dari Kak Mey. Aku dikirimkan sebagai delegasi kantor untuk menulis beberapa artikel mengenai acara yang diadakan di The Bay tersebut. Dan, tentu bukan karena semata-mata karena menghadiri pameran ini aku tidak bisa tidur dan was-was sejak beberapa hari lalu.

***

 
Aku sudah sampai di sebuah sudut The Bay, tepat didepan gerbang de Opera, lokasi pameran lukisan hari ini.  Setelah melakukan repetisi merapikan rambut dan baju, aku pun melangkah pasti. De Opera bukan tempat asing buatku. Aku sudah beberapa kali kesini; entah sendirian, bersama teman, atau.. pacar. Di dalam sebuah ruang yang sering dijadikan tempat pertunjukan regular de opera ini rupanya sudah ramai. Postur tubuhku yang mungil, ditambah hari ini aku hanya mengenakan flat shoes, membuatku kesusahan mencari sesosok pria yang sudah kujanjikan akan kutemui disini. Aku berdoa dalam hati, kuharap ia tidak kesulitan mengenaliku dengan penampilan yang banyak berubah sejak terakhir kali kami bertemu 3 tahun lalu. 
            “DISTAAA??”
            Aku menoleh kearah kanan. Oh Tuhan! Itu Aryasatya. Laki-laki berwajah malaikat yang pernah kumiliki. Ia tidak lupa. Ia berhasil mengenaliku dengan penampilan seperti ini.
            “Hei…. Apa kabar kamu?” kedua tangan kami kembali bertemu. Di tengah keramaian acara pameran, senyum kami seolah mengheningkannya meski sesaat.
            “Apa ini? Rambut pendek sebahu? Pipi merah pakai blush-on? Rok pendek? HAHAHA!”
           “ARYAAAAAA!” aku protes tidak terima. Bagaimana mungkin pria ini mencubit-cubit gemas pipiku di keramaian seperti ini. Heis!
                “Cuma sepatunya yang belum berubah. Masih flat shoes seperti dulu.”
            “Eitss, jangan salah. Ini aku pakek flat shoes gara-gara habis terkilir beberapa minggu lalu. Belum berani pakek heels lagi. Arya berapa hari di bali?”
            “Besok siang sudah balik. Aku kesini kan cuma karena undangan pameran ini. Oh ya, Sudah lihat lukisanku, dis?”
            Aku menggeleng. Tidak bisa kusembunyikan, aku sedikit kecewa mendengar jawaban Arya yang hanya berkunjung sebentar di Bali.
              “Hei…. Kok cemberut begitu? Ayo aku tunjukkan sesuatu.”
            Arya meraih tanganku. Kami kembali bergandengan setelah sekian lama terpisah jarak juga status yang tak lagi sama. Cahaya lampu keemasan de Opera menghangatkan kembali pertemuan kami. Kakiku patuh pada arahan kemana Arya melangkah. Seperti dulu.
            “Nah, ini lukisanku. Kata panitia ada 500 lebih lukisan yang mendaftar. Kamu patut bangga Dis, lukisan ini masuk dalam 50 besar terbaik lho..”
            Hatiku seketika meracau. Bukan hanya karena caption yang disematkan pada lukisan ini “Maret 2007, Gadis Bali Kesayanganku”. Tapi, dalam lukisan karya Aryasatya ini adalah memang aku. Aku yang saat itu benar menjadi kesayangannya, satu-satunya.
             “Kamu masih punya foto asli ini? Belum di delete?”
            “HAHAHA. Lha kenapa harus di delete sih? Aku bukan anak SMP labil yang setelah putus dengan pacarnya lalu menghapus semua foto-fotonya, Dista. Hih!”
            Arya kembali mencubit pipiku. Kali ini aku tidak berontak. Aku membiarkannya, dan masih terus memperhatikan tingkahnya. Arya masih seperti malaikat, belum berubah.
            “Coba lihat, kamu cantik sekali saat itu. Rambutmu masih panjang, tidak pendek seperti sekarang. Aku akui, sekarang kamu lebih cantik, tapi Dista gadis Baliku yang dekil tanpa make-up dulu jauh lebih menawan.”
          Aku diam mendengar perkataan Arya. Sudah lama sekali rasanya. Entah bagaimana, setiap perkataan Arya membuatku seolah terhempas kembali ke masa lalu kami. Nostalgia dengan kenangan masa silam yang tidak akan pernah bisa mengubah keadaan.
            “Kamu sudah makan siang? Aku traktir Bebek bengil kesukaanmu?”
            “Super Yesssss, Miss Dista!!!”
        Kami beranjak dari tempat pameran. Tidak jauh dari sini, masih dalam satu kompleks The Bay, aku mengajak Arya nostalgia dengan makanan kesukaannya. Setelah lulus sarjana, Arya memang kembali ke Ibukota. Persis setelah itu, ia tak lagi ke Bali. Entah karena kesibukannya di Jakarta, atau mungkin karena enggan bertemu aku, atau mungkin lagi ia ingin mengobati luka hatinya karenaku.
            “Kalau kemarin aku tidak tanya duluan, kamu pasti nggak ngasih tau aku kan mau ke Bali?”
            “Emmm…. Menurut kamu?”
            “Ya, itu. Begitu. Iya?”
            “Hehehe, entahlah. Yang penting kan kamu sudah tanya. Dan, kita bertemu lagi.”
            “Jadi bener kan.”
            “Hei… hei.. hei.. ngambek?”
            Aku diam dan sok sibuk membolak-balik menu di Restoran Bebek Bengil The Bay. Aku mengenal Arya dengan baik, 5 tahun menjadi kekasihnya bukanlah waktu singkat. Pasti sekarang ia sedang memutar otak untuk mengembalikan moodku yang sedang jelek. Aku cekikikan senang dalam hati. Hihihi..
            “Yasudah kalau ngambek, yang penting aku tetep ditemenin dan ditraktir makan Bebek bengil cukup deh…”
            “Hih! ARYAA!!!”
            “Kamu pasti ngira aku bakalan maksa-maksa kamu biar nggak ngambek kan? Enak aja, kan udah bukan pacar aku. Weeekk.. HAHAHAHA!”
            Aku pun ikut tertawa. Benar apa yang Arya katakan. Aku hampir lupa.
            “Aku kaget kemarin waktu baca pesan kamu. Sudah lama sekali sih ya kita nggak ngobrol. Jadi cukup deg-degan juga tiba-tiba muncul nama kamu di handphone.”
            “Iya, kebetulan aku baca obrolanmu dan Damar di twitter. Sayang sekali ya, teman-teman asli Bali sudah banyak yang kerja diluar. Sepertinya memang cuma aku yang masih disini.”
            “Lho, ya nggak masalah donk, Dis. Jadi, kapan-kapan kalau aku liburan kesini masih ada kamu yang siap menyambut. Seperti sekarang.”
         “Yeeeeeiii, enak saja. Ini yang terakhir yaa. Lain kali tidak lagi. Ogah menyambutmu di Bali bersama istrimu nanti. Weeekkk.”
            “HAHAHAHA. Ya nggak masalah donk. Nanti aku kenalkan, kan kalian sama-sama mantan pacarku. Cuma bedanya, dia akhirnya kunikahi, kamu tidak.”
            Kami tertawa lepas. Siapa yang bisa menyangka, dalam beberapa jam kami sudah mampu kembali menertawakan hal-hal tabu yang sebelumnya tidak pernah kami ungkit. Ya, bulan depan Arya menikah. Aku tahu itu dari teman-teman kuliah kami dulu. Sejak kami putus, hanya selang beberapa bulan sebelum kelulusan sekaligus kepulangan Arya kembali ke Ibukota, tidak ada satupun diantara kami yang memulai komunikasi. Hingga hari ini, kami bertemu lagi di The Bay.
            “Lalu, kamu bagaimana, Dis? Sudah ada calon?”
            “Emmm… mungkin akhir tahun ini baru tunangan. Tahun depan nyusul kamu deh, menikah.”
            “Waahhh, selamaaattttt. Calonnya orang mana? Bali juga?”
            “Ih, Arya kepo ih…”
         “Lho, harus itu. Aku mau memastikan kamu akhirnya tidak menikah dengan laki-laki yang dulu lebih kamu pilih sampai meninggalkan aku. No way, bukan sama dia kan???”
            “HAHAHAHA. Of course not, Aryasatya. Dulu kami cuma pacaran beberapa bulan. Dia kembali ke negaranya, lalu kami putus begitu saja.”
            “YES! Lalu? Kamu menyesal nggak? Keinget aku nggak setelah itu? Cieeeeh cieeeh..”
            “Heiss.. Percaya diri sekali kamu. Yee…”
            Kami kembali tertawa lepas. Lucu sekali. Meski obrolan ini mengalir begitu saja, seolah tidak lebih dari candaan ringan, namun tetap membawa buih kejujuran yang tersimpan dalam ke permukaan. Kami menceritakan pasangan masing-masing, dengan sesekali iseng membandingkan dengan perjalanan romansa kami saat masih berpacaran. Aku menyadari, bisa jadi ini adalah kesempatan terakhir yang diberikan Tuhan untuk kami. Melepaskan beban hati masing-masing, kemudian siap dengan jalan cerita yang Tuhan siapkan dengan sebaik-baiknya.
            “Sudah malam, terimakasih untuk menemani di The Bay seharian ini ya, Dis.”
            “My pleasure, Arya. Ini hadiah kecil untuk pernikahanmu bulan depan.”
            “Hmm.. thank you.. semoga cepat selesai tesisnya ya..”
            “Yup, Thanks..”
       Tangan kami kembali bertemu. Dengan hati yang ringan dan tenang, kami melepaskan genggaman tangan itu perlahan. Mengambil arah berlawanan dalam melangkah, kemudian mengulang kembali ceria hari ini dalam ingatan masing-masing hingga akhirnya tertidur dan bertemu dengan kisah yang sesungguhnya. Kisah sekarang yang berarti untuk masa depan, bukan lagi masa lalu.

***

Catatan hari ini:
Bali, 07 April 2014.
Oh Tuhan, terimakasih sekali. Luka yang kutorehkan untuk Aryasatya kuharap memang benar telah kering seperti tercermin dalam pertemuan menyenangkan kami hari ini. Terimakasih untuk kesempatan ini Tuhan. Terimakasih Tuhan, Terimakasih The Bay. Untuk setiap luka yang pernah ada dalam hati Aryasatya, semoga sudah binasa dengan bahagia di sorot matanya. Selamat berbahagia, Aryasatya ^^

 

2 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung dan berkomentar....
Mari saling menginspirasi =)

Back to Top