Aku tidak peduli. Persisten? Ya, itu aku. Pegawai kedai ini kupastikan tak akan lagi menegurku malam ini. Mereka sudah hapal dan paham. Aku akan pulang 5 menit sebelum kursi-kursi disini dipadukan lagi jadi satu. Mereka tahu, aku sedang menunggu.
Aku dan Rio memang suka disini. Aku menulis, dan Rio tak bosan mengaduk kopi didepannya. Sesekali ia memainkan poni dirambutku, "Hei... tulisanmu membuatku cemburu..", protes Rio dengan lucu.
Empat tahun bukan waktu singkat. Kami bersama sebagai teman, juga sepasang kekasih. Menguatkan namun tidak mengekang, kami saling memberi jeda untuk setiap rasa yang kami bina.
Malam ini aku masih menunggu Rio datang. Siapa tahu ia sekedar mampir bersama istrinya ke kedai favoritnya ini. Kedai yang menemaninya menghabiskan cerita bersama mantan kekasihnya, aku.
Pukul 11 lebih 25 menit. Aku beranjak dari kursi rotan yang mulai tak nyaman ini. Aku masih menggenggam erat sebuah kertas lusuh. Kertas lusuh sama yang kugenggam saat menolak lamaran Rio.
"Tak kan bisa ku lupakan
Hingga akhir nanti
Ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia
Tak mengapa namun kau harus bahagia"
Hingga akhir nanti
Ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia
Tak mengapa namun kau harus bahagia"
Lagu Sammy simorangkir menutup malam di kedai hari ini. Aku melambaikan tangan pada Om Soni, kasir Kedai. Setidaknya, ia yang telah menenangkan perasaanku sejak hari itu. Hari aku divonis kanker rahim dan kehilangan Rio. Selamanya.
pendek tp berisi..teruskan cuyy :d
BalasHapustengkyuuuuu :D
BalasHapuskalimat-kalimatnya, kata-katanya keren. emang pantes menang, congrats buat kemenangannya kak ^^ :$
BalasHapusTerimakasiih :')
BalasHapus